"Aku Gak Pernah Merasa Cukup": Sebuah Cerita tentang Insecure dan Jalan Menuju Penerimaan Diri
Setiap pagi, Rara menatap cermin. Bukan untuk sekadar merapikan rambut atau memilih outfit, tapi lebih pada "menilai" dirinya sendiri. Apakah aku cukup pintar? Apakah aku sudah berhasil? Mengapa hidup orang lain terlihat lebih sempurna?
Rasa itu bernama insecure—perasaan tidak aman, ragu terhadap diri sendiri, merasa kurang dibandingkan orang lain. Bagi Rara, rasa itu muncul setiap kali ia membuka media sosial. Teman-teman terlihat sukses, bahagia, produktif. Sementara dirinya? Merasa tertinggal, seolah-olah semua pencapaiannya tak berarti.
Dari Mana Datangnya Rasa Ini?
Rara mulai merenung: mungkin semua ini bukan hanya soal media sosial. Ia teringat masa kecilnya—kritik tajam dari orang tua, ekspektasi tinggi, dan luka dari kegagalan masa lalu. Mungkin, pengalaman itulah yang membentuk rasa tidak percaya dirinya.
Ia juga menyadari betapa perfeksionisnya ia selama ini. Setiap kesalahan kecil menjadi alasan untuk menyalahkan diri sendiri. Ia juga sering merasa kesepian, dan tanpa sadar membandingkan kehidupannya dengan standar yang ia ciptakan sendiri.
Apa Dampaknya Jika Dibiarkan?
Hari-hari Rara mulai terasa berat. Ia mulai kehilangan semangat, menarik diri dari pergaulan, dan berusaha tampil sempurna di depan orang lain hanya untuk menutupi ketidaknyamanan batinnya. Kadang ia merasa seperti "memakai topeng" yang terus-menerus melelahkan.
Padahal, rasa insecure yang dibiarkan bisa berdampak serius: depresi, kecemasan, bahkan gangguan makan. Dalam beberapa kasus, orang bisa menjadi sangat defensif, bahkan narsistik, sebagai cara menutupi rasa tidak amannya.
Rara Belajar Melepaskan... Perlahan
Perjalanan Rara tidak instan. Tapi ada titik baliknya—saat ia membaca kutipan ini: "Kita enggak perlu sempurna untuk dapat bahagia." Kata-kata itu menamparnya lembut. Ia mulai belajar untuk...
Berhenti membandingkan diri. Ia mulai membatasi waktu di media sosial dan lebih fokus pada kehidupannya sendiri.
Bersyukur dan menghargai diri sendiri, sekecil apa pun langkah yang ia capai.
Mengelilingi diri dengan orang-orang yang suportif—yang tidak menuntut kesempurnaan, tapi menerima dirinya apa adanya.
Menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari hidup.
Setiap malam kini ia menutup hari dengan satu kalimat sederhana: "Aku cukup. Hari ini, aku cukup." Dan perlahan, suara kritis dalam kepalanya mulai mengecil.
Akhir Cerita? Belum. Tapi Rara Sedang Baik-Baik Saja
Mengatasi rasa insecure bukan perjalanan semalam. Tapi seperti Rara, kita semua bisa mulai dengan satu langkah kecil: menerima diri kita—dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Daftar Referensi
American Psychological Association. (2023). Anxiety.
Appel, H., Gerlach, A. L., & Crusius, J. (2016). The interplay between Facebook use, social comparison, envy, and depression. Current Opinion in Psychology, 9, 44–49.
Orth, U., & Robins, R. W. (2013). Understanding the link between low self-esteem and depression. Current Directions in Psychological Science, 22(6), 455–460.
Ronningstam, E. (2005). Identifying and understanding the narcissistic personality. Oxford University Press.
Comments
Post a Comment