Pentingnya
Mengekspresikan Emosi dan Bahaya Supresi Emosi
Kita pasti sudah terbiasa menekan emosi kita, daripada mengekspresikan emosi yang sedang kita rasakan. Terkadang emosi yang ditekan sering kali berakar dari pengalaman masa kanak-kanak. Orangtua yang pilih kasih, lebih memusatkan perhatian kepada si sulung atau si bungsu sehingga anak tengah selalu terabaikan. Sehingga muncullah sibling rivalry. Anak pertama selalu dituntut mengalah, menjadi penurut supaya menjadi contoh bagi adik-adiknya. Anak selalu dituntut berprestasi di sekolah, berkelakuan baik, dan harus mendapatkan nilai A. Harus begini, harus begitu, supaya selalu baik dimata orang lain. Jangan begini, jangan begitu, malu sama orang lain. Si anak dipaksa menjadi dokter, padahal sebenarnya ia ingin jadi koki.
Anak jarang diberikan ruang untuk mengekspresikan emosi yang ia rasakan. Tidak pernah ditanya, bagaimana perasaan yang ia rasakan sesungguhnya? sebenarnya ia ingin menjadi apa?. Tidak jarang jika anak berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki orang tua, anak akan dibentak, dimarahi, dan dipukul. Dan ketika anak memberikan opininya, karena merasa dalam sebuah situasi yang ia lakukan adalah benar, orang tua akan mengeluarkan kata yang menjadi senjata utama mereka “kamu melawan, mau jadi anak durhaka?”. Akhirnya, si anak tidak berani lagi mengekspresikan emosinya. Pola pikirnya terbentuk, mengekspresikan emosi sama dengan anak durhaka.
Salah
satu budaya yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia adalah budaya tidak
enakan. Tidak to the point terhadap suatu situasi yang membutuhkan penilaian
jujur. Perasaan sungkan, perasaan takut suasana menjadi lebih buruk atau dalam
relationship takut kehilangan pasangan. Akhirnya, kita mengabaikan perasaan
kecewa dalam diri kita, menjadi people pleasure, “Asal Doi Senang” Asal Orang
Tua Senang”. Belum lagi pernyataan laki-laki tidak boleh menangis, itu tandanya
cengeng, laki-laki itu harus kuat. Jadi perempuan harus lebih mendengar, jangan
terlalu speak up, harus lemah lembut dan sebagainya. Dan entah kenapa, ketika
melakukan hal ini, kita merasa seperti sedang melakukan hal-hal yang baik. Setidaknya itulah yang kita anggap sampai
kita sadar pentingnya mengekspresikan emosi setelah beranjak dewasa.
Kita
sering tidak mengekspresikan emosi yang kita rasakan dan alih-alih malah
melakukan supresi emosi. Pernahkah kamu
merasa sakit hati dengan perlakuan atau omongan orang terdekatmu, bisa teman,
pacar atau orang tua kamu? Kamu sudah sangat ingin marah sekali, kamu bahkan
ingin memaki, kamu mungkin memukul orang tersebut. Namun, kamu memilih menekan
amarah mu, kamu menutupi pikiran dan perasaan mu terhadap dorongan rasa marah
mu. Dan kamu sangat sadar dengan apa yang kamu lakukan itu. Sering merasa
kecewa kepada keluarga dan orang lain. Namun, tidak berani menunjukkan
sikap kekecewaan tersebut kerena memikirkan efek yang akan ditimbulkan.
Ketika
sedang patah hati, dunia yang kamu rasakan seolah-olah runtuh. Mengurung diri berhari-hari dikamar
tidur, memandangi foto pacar serta mengingat kenangan – kenangan yang pernah
terjadi. Jika ini dilakukan dalam jangka 1-3 hari masih bisa diterima. Tapi
kalau sudah jangka panjang, tidak melakukan sesuatu yang membantu keluar dari
perasaan patah hati, bisa terjadi hal- hal yang tidak diinginkan.
Contoh lainnya adalah merasa
cemas karena akan terpilih presentasi dikelas, merasa khawatir, takut
presentasi jelek, dan diejek satu kelas? Tapi bukan mempelajari materi yang
akan dipresentasikan, kamu malah memilih menonton drama korea, main game,
membuka social media berjam-jam untuk menghilangkan rasa cemasmu. Bukan
menghadapinya, malah menekan emosi tersebut dan lari ke hal-hal yang membuatmu
merasa nyaman.
Menurut
Sigmund Freud, Supresi adalah salah satu defense mechanism dalam diri manusia
yaitu menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada, sehingga
memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan memberikan reaksi yang lebih
konstruktif. Supresi berarti tindakan
yang dilakukan secara sadar untuk menutupi pikiran, perasaan atau dorongan
terhadap perilaku tertentu (Shultz, 2017).
“Misalnya, merasa kesal pada orang terdekat karena hal yang dibicarakannya sangat menyakitkan hati. Ketika situasi berlangsung, memilih untuk diam, alih-alih untuk memberontak. Takut orang tersebut lebih sakit hati. Lebih memikirkan perasaan orang lain. Tapi cobalah tetap menyampaikan rasa kesal tersebut dengan bahasa yang lebih bisa diterima. (ini adalah situasi yang masih bisa dikendalikan oleh individu).
Dalam situasi tertentu ada
kalanya supresi baik dilakukan. Namun, setelah melakukan supresi, diharapkan
segera memberi respon yang kontruktif. Supresi dilakukan dengan sadar atau
sengaja. Kita dengan sengaja melupakan sesuatu atau mengalihkan pikiran dari
hal yang tidak membuat nyaman. Supresi emosi akan menjadi berbahaya dilakukan
dalam waktu yang sering dan jangka waktu yang lama.
Bahaya Supresi Emosi. Supresi emosi dalam waktu yang sangat lama dapat menyebabkan kesehatan mental yang serius. Mood swing, kecemasan, depresi, merasa tidak berharga, self esteem yang rendah. Penelitian menunjukkan bahwa supresi emosi menyebabkan stres berkepanjangan. Stres kronik yang menuntut, melelahkan mental dan bisa menyebabkan kanker yang akhirnya menjadi faktor risiko kematian dini (Hyo-Weon Suh, Park, Jang, & Kim, 2021).
Emosi
yang tertekan juga bisa keluar dalam bentuk mimpi dan bahkan mimpi buruk lho. Jika
kamu terus-terusan mencoba menyembunyikan suatu emosi dalam kehidupan nyata,
hal itu bisa saja terungkap dalam mimpi kamu
Lihat saja dunia kerja. Misalkan saja, kamu adalah karyawan yang kena tegur oleh atasan karena projek kerja yang tidak berjalan dengan baik. Kamu merasa alasannya adalah karena satu tim yang tidak bisa diajak bekerja sama. Kamu juga sering dimarahi untuk sesuatu yang bukan salah kamu. Beban kerja yang sangat berat, belum lagi tidak pernah mendapatkan uang lembur. Namun, biasanya karyawan akan menerima apa saja caci maki atasan tanpa ada perlawanan. Mengangguk-angguk mengiyakan apa saja yang dilontarkan oleh atasan, padahal dalam hati berkata lain. Lalu apa alasannya? Pertama karena tidak ada power. Kedua, memiliki kekuatan untuk speak up, tapi ada rasa takut, bagaimana jika hubungan dengan atasan dan rekan kerja memburuk?. Mau berhenti kerja, dunia pengangguran lebih menakutkan.
Jadilah si karyawan memilih diam. Menekan
semua emosi yang ia rasakan. Karyawan kantor atau lebih popular dengan sebutan
budak korporat, sepertinya selalu butuh tempat seperti pegunungan, laut,
pantai, dengan pemandangan yang luas untuk berteriak. Mengeluarkan segala
uneg-uneg mereka sebagai self recharge. Karena waktu 2 jam di tempat karoke
masih terasa kurang. Dan tak jarang juga di film-film biasanya diperlihatkan
bagaimana pekerja-pekerja melarikan diri dengan minum minuman beralkohol sampai
mabuk. Dunia kerja memang bukan hanya tentang beban kerja yang berat, tetapi
emosi-emosi yang takkan pernah tersampaikan.
Bahaya
supresi selanjutnya dalam durasi yang lama adalah berujung hilangnya nilai
sosial dan moral. Penelitian menunjukkan bahwa memendam emosi
dapat membuat orang menjadi lebih agresif (Husaein dkk, 2011). Tanpa kita
sadari perasaan marah, cemas, diam, yang tidak mampu diekspresikan dapat
menghabiskan banyak energi. Bahayanya
sebuah emosi (lebih sering marah, kesal, kecewa) jika terus ditahan pada jangka waktu lama dan
tidak diselesaikan, maka akan memicu respon psikologis yang terganggu, sehingga
amarah yang ditekan tidak kunjung hilang.
Mengutip quote popular dari bapak Sigmund Freud,
“ Unexpressed emotions will never die. They are buried alive and will come forth later in uglier ways"
” Emosi yang tidak terekspresikan
tidak akan pernah mati. Mereka terkubur hidup-hidup dan nantinya akan muncul
dengan cara yang lebih buruk”
Makannya sering kita dengar
berita seseorang membunuh karena motif sakit hati. Kalau membunuh langsung pakai pisau, si
tersangka masih bisa diperkarakan. Tapi kalau sudah dilukai, dibunuh dari jarak
jauh dan tanpa menyentuh dengan menggunakan ilmu teman-teman demit khas budaya nenek moyang, yang
katanya masih lestari sampai sekarang. Duuuuh, mana iman tidak ada sebesar biji
sesawi? Korban mati, si tersangka tidak dapat dilihat dan tidak dapat
dibuktikan.
Memang jika kita tidak melakukan supresi emosi, kita mempertaruhkan sisi kemanusiaan kita. Misalnya zaman sekarang bisa saja disebut problematik. Akan dicap sebagai anak durhaka, dan kita juga bisa kehilangan pekerjaan. Faktanya, memang setiap emosi hanya memiliki dua pilihan yaitu ditekan atau dilepaskan. Namun, sisi negatif selalu ada, saat kita menekan emosi tersebut. Jika kita terlalu sering menekan emosi akan berdampak pada kesulitan memahami perasaan orang lain, khususnya perasaan marah, kecewa, kesal sehingga berimbas pada berkurangnya rasa empati.
Banyak orang percaya bahwa
mengekspresikan emosi marah, kecewa, kesal membuat seseorang tampak lemah dan
kurang kendali (si tukang marah-marah). Alasan lainnya adalah menjaga citra diri tidak ingin menjadi orang
yang tak disukai oleh orang lain. Berada di zona nyaman atau sebagai
perlindungan diri.
Hari ini ada orang lain yang
membuat kamu sakit hati, ekspresikanlah emosi kamu. Carilah strategi untuk
mengekspresikan emosi kamu dengan baik, tanpa menyinggung orang lain. Tapi
kalau hari ini orang lain membuat kamu kesal, sakit hati, dan kamu tetap menyimpan emosi kamu. Dalam suatu situasi, kamu sedang dalam mood yang buruk, semua emosi terkumpulkan, setan membisikkan
sesuatu, dan imanmu sedang tidak kuat. Bisa jadi orang lain kamu bakar
hidup-hidup. Atau pilihan yang lain kamu semakin menyakiti diri kamu. Karena
ternyata kamu tidak tahan lagi menekan emosi terlalu lama.
Emosi seperti marah, sedih,
kecewa, bukan lah emosi negatif yang tabu untuk diekspresikan ya. Sebenarnya,
ketika kita sedang merasakan perasaan tertentu, ada pesan tersembunyi lho dari
tubuh kita. Namun, memahami pesan itu merupakan tantangan tersendiri bahkan
cara membangun kesadaran aman terhadap rasa emosi tersebut, mengelolanya tanpa
menekan dan menyampaikan secara apa adanya.
Kemampuan dalam meregulasi emosi
sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik untuk berinteraksi,
menyesuaikan diri dalam lingkungan yang baru, tuntutan dalam dunia pekerjaan atau ketika berhubungan dengan orang
lain. Keterampilan berkomunikasi
merupakan kunci dalam mengekspresikan emosi. Manfaatnya agar kita dapat
bertanggungjawab dengan emosi yang dirasakan. Marah, kecewa, sedih bukanlah
sesuatu yang dilarang. Hanya saja, kita perlu mengetahui konteksnya terlebih
dahulu. Ketika terus menerus menahan emosi, maka hal ini dapat meluapkan seakan
tanpa kendali yang membuat kita sulit mengendalikannya. Lebih baik untuk
meluapkan perasaan dibandingkan hanya memendamnya saja. Cukup sampaikan yang
dirasakan sesuai kebutuhannya, jangan hanya ditekan.
Jika kamu melakukan supresi dalam
situasi yang memang kamu tidak bisa kendalikan, kamu marah, kesal, dan kecewa.
Kamu bisa mengekspresikan emosi kamu dengan katarsis seperti yang telah
dijelasakan di artikel – artikel sebelumnya. Bisa lewat konseling, jurnalling, self talk, atau minimal sharing kepada
orang yang kamu percaya.
Jadi, apakah kamu orang yang paling sering
melakukan supresi emosi? Atau malah menjadi tersangka, membuat orang lain
sering melakukan supresi emosi? Mungkin karena cara komunikasi mu
yang buruk atau anger management yang tak terlatih?
Saat ini, mari refleksikan diri
banyak-banyak ya, selain memikirkan emosi diri sendiri, pekalah juga terhadap emosi orang lain dalam konteks yang tepat. Jangan selalu memikirkan
kita adalah korban, bisa jadi kita pelaku selama ini. Coba pikirkan sejenak?
Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu dapatkan?
boleh tulis dikolom komentar ya.
see you in next article💗
Referensi :
Butler
EA, Egloff B, Wlhelm FH, Smith NC, Erickson EA, Gross JJ. The social
consequences of expressive suppression. Emotion. Published online March
2003:48-67. doi:10.1037/1528-3542.3.1.48
Chapman
BP, Fiscella K, Kawachi I, Duberstein P, Muennig P. Emotion suppression and
mortality risk over a 12-year follow-up. Journal of Psychosomatic Research.
Published online October 2013:381-385. doi:10.1016/j.jpsychores.2013.07.014
Hosseini
SH, Mokhberi V, Mohammadpour RA, Mehrabianfard M, Lashak NB. Anger expression
and suppression among patients with essential hypertension. International
Journal of Psychiatry in Clinical Practice. Published online April 28,
2011:214-218. doi:10.3109/13651501.2011.572168
Hyo-Weon Suh, 1. K.-B.-Y., Park, M., Jang, B.-H., & Kim, J. W. (2021).
How Suppressed Anger Can Become an Illness: A Qualitative Systematic Review of
the Experiences and Perspectives of Hwabyung Patients in Korea. Front
Psychiatry. doi:10.3389/fpsyt.2021.637029
Lolita, L. (2019). 6 Pembunuhan
menghebohkan karena sakit hati, terbaru siswi SMK Bogor. Retrieved from
Brilio.net:
https://www.brilio.net/duh/6-pembunuhan-menghebohkan-karena-sakit-hati-terbaru-siswi-smk-bogor-190110v.html
Nadhiroh, Y. F. (2015). Pengendalian
Emosi (Kajian Religio-Psikologis Tentang Psikologi Manusia. Jurnal
Saintifica Islamica, 2, 53-63.
Schultz, Duane
P., & Sydney, E. Schultz. (2017). Theory of personality (11th ed). United
States of America: Thomson Wadsworth
Comments
Post a Comment